Perkara Diselesaikan Lewat Restorative Justice, Salah Satunya Kasus KDRT

HUKUM173 Dilihat

Jakarta, mitratnipolri.co.id :

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum), Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, menyetujui penyelesaian empat perkara pidana melalui mekanisme keadilan restoratif atau restorative justice. Kamis, 10 Juli 2025.

Salah satu kasus yang mendapat persetujuan penghentian penuntutan adalah perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi di Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh.

Persetujuan itu disampaikan dalam forum ekspose virtual yang dipimpin langsung oleh JAM-Pidum menilai keempat perkara memenuhi syarat substantif dan prosedural sesuai Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020, Rabu (9/7/2025).

Kasus KDRT yang dimaksud melibatkan tersangka Suyanto bin Armigo yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Peristiwa kekerasan terjadi pada malam hari, 13 Desember 2024. Saat itu, korban Tri Febrianti, istri dari tersangka, membangunkan suaminya untuk mengingatkan bahwa sepeda motor mereka masih berada di luar rumah.

Namun, alih-alih merespons dengan tenang tetapi tersangka justru marah dan melampiaskan kekesalan dengan memukul kepala korban sebanyak 12 kali dan menendangnya dua kali.

Aksi kekerasan ini disaksikan oleh Ibu dan Kakak tersangka yang kemudian berusaha melerai, korban sempat merekam kejadian tersebut menggunakan ponsel dan akhirnya melaporkan peristiwa tersebut ke Polsek Pegasing lalu diarahkan ke Polres Aceh Tengah untuk visum dan pelaporan resmi.

Setelah mempertimbangkan berbagai aspek, Plt. Kepala Kejaksaan Negeri Aceh Tengah Sayid Muhammad bersama Kasi Pidum Evan Munandar dan Jaksa Fasilitator Muhammad Arifin Siregar menginisiasi penyelesaian perkara melalui pendekatan keadilan restoratif.

Pada proses mediasi yang dilakukan 25 Juni 2025, tersangka mengakui seluruh perbuatannya, menyatakan penyesalan, dan berjanji tidak mengulanginya, korban menerima permintaan maaf tersangka dengan syarat tersangka memberikan kompensasi berupa emas seberat 10 gram.

Kesepakatan damai ini kemudian mendapat persetujuan dari Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh Yudi Triadi dan akhirnya disahkan dalam ekspose virtual oleh JAM-Pidum.

Selain kasus di Aceh Tengah, JAM-Pidum juga menyetujui penyelesaian tiga perkara lainnya melalui mekanisme serupa.

Persetujuan penghentian penuntutan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, diantaranya telah terjadi proses perdamaian antara pelaku dan korban, tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana tidak lebih dari lima tahun serta adanya jaminan dari tersangka untuk tidak mengulangi perbuatannya.

Selain itu, JAM-Pidum menekankan bahwa seluruh proses dilakukan secara sukarela tanpa tekanan dan telah disepakati oleh kedua belah pihak demi menjaga keharmonisan sosial.

Masyarakat juga dinilai merespons positif penyelesaian perkara dengan pendekatan ini.

“Para Kepala Kejaksaan Negeri diminta segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan mekanisme keadilan restoratif sesuai peraturan yang berlaku,” kata Asep Nana Mulyana menutup ekspose.

Langkah Kejaksaan Agung ini dinilai sebagai bagian dari komitmen institusi penegak hukum untuk menghadirkan kepastian hukum yang berkeadilan, humanis serta mempertimbangkan aspek sosiologis dan kemanfaatan bagi masyarakat luas.

Jurnalis : Ngui bui Tjung
Editor : Taufik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *