Cirebon – Jawa Barat
Pemerataan akses pendidikan adalah salah satu prioritas utama pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mengurangi ketimpangan sosial. Salah satu strategi yang telah diterapkan adalah kebijakan sistem zonasi dalam sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB). Tujuan dari sistem zonasi ini adalah memberikan semua siswa kesempatan yang sama untuk mengakses dan menerima pendidikan berkualitas tanpa diskriminasi berdasarkan lokasi geografis atau latar belakang sosial ekonomi. Namun, apakah kebijakan ini benar-benar menjadi pintu masuk menuju pemerataan pendidikan? Ataukah justru melahirkan problematika baru yang tak kalah pelik?
Akar Masalah: Ketimpangan Akses dan Kualitas Pendidikan
Sebelum membedah sistem zonasi, kita perlu mundur sejenak untuk memahami konteks di balik kemunculannya. Selama bertahun-tahun, sistem pendidikan Indonesia berjalan dalam paradigma yang cenderung elitis. Sekolah-sekolah favorit, terutama di kota besar, menjadi incaran utama. Nilai menjadi satu-satunya tolok ukur seleksi, sehingga siswa dengan kemampuan akademik tinggi dan dukungan ekonomi kuat mendominasi akses ke sekolah berkualitas.
Akibatnya, terjadi penumpukan siswa berprestasi di sekolah tertentu, sementara sekolah lain mengalami kekurangan peminat. Ini memperlebar jurang kualitas antar sekolah dan menciptakan kasta dalam dunia pendidikan. Anak-anak dari keluarga prasejahtera atau tinggal di daerah yang jauh dari sekolah favorit, nyaris tidak memiliki peluang untuk masuk ke institusi pendidikan unggulan, sekalipun memiliki potensi yang besar.
Dalam situasi inilah, sistem zonasi hadir sebagai bentuk intervensi kebijakan untuk mengubah pola pikir dan distribusi peserta didik. Pemerintah mencoba menyeimbangkan persebaran siswa, memutus stigma sekolah unggulan versus sekolah pinggiran, serta menegaskan bahwa semua anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu di mana pun mereka berada.
Zonasi: Gagasan Besar yang Mengundang Polemik
Secara sederhana, sistem zonasi menetapkan bahwa penerimaan siswa baru di sekolah negeri dilakukan berdasarkan jarak tempat tinggal ke sekolah. Dengan kata lain, prioritas diberikan kepada siswa yang berdomisili dalam radius tertentu dari sekolah tujuan. Tujuannya jelas: mendekatkan sekolah ke rumah, meminimalisasi biaya transportasi, dan menghapus label sekolah unggulan.
Namun, sejak awal penerapannya pada 2017 dan diperkuat lewat Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017, sistem ini memicu polemik di masyarakat. Di satu sisi, sistem ini dianggap adil karena tidak lagi menjadikan nilai ujian sebagai satu-satunya parameter seleksi. Tapi di sisi lain, banyak orang tua merasa kecewa karena anak-anak mereka yang memiliki nilai tinggi justru tidak bisa masuk ke sekolah favorit hanya karena jarak rumah yang tidak memenuhi ketentuan zonasi.
Sebagian orang tua bahkan terpaksa memalsukan alamat domisili demi menyiasati sistem ini. Fenomena ini menandakan bahwa masih ada ketimpangan besar dalam persepsi dan realitas kualitas sekolah. Artinya, jika semua sekolah dianggap setara, tidak akan ada kebutuhan untuk “berpindah domisili” hanya demi mendapatkan bangku di sekolah tertentu.
Dampak Positif: Langkah Awal Menuju Pemerataan
Di tengah kritik dan tantangan implementasi, tidak adil jika kita menafikan sisi positif dari sistem zonasi. Kebijakan ini, secara ideal, membawa semangat besar untuk membongkar struktur eksklusif dalam pendidikan Indonesia.
1. Meminimalisasi Komersialisasi Pendidikan
Sebelum zonasi, masuk sekolah negeri favorit kerap kali tidak lepas dari praktik transaksional. Ada indikasi pungutan liar, “jalur belakang”, hingga tekanan politis demi mendapatkan kursi di sekolah tertentu. Sistem zonasi meminimalisasi peluang praktik semacam itu karena seleksi berdasarkan tempat tinggal, bukan lobi atau prestasi semata.
2. Menghidupkan Sekolah “Tertinggal”
Ketika siswa tersebar merata, sekolah-sekolah yang sebelumnya sepi peminat mulai mendapat perhatian. Hal ini mendorong pemerintah daerah dan dinas pendidikan untuk membenahi kualitas fasilitas, meningkatkan kompetensi guru, dan memperbaiki manajemen sekolah. Dalam jangka panjang, ini membuka peluang peningkatan mutu pendidikan di seluruh wilayah, bukan hanya terpusat di beberapa sekolah saja.
3. Mengurangi Tekanan Akademik
Sistem nilai yang menjadi penentu mutlak penerimaan sekolah menyebabkan tekanan luar biasa pada siswa sejak usia dini. Dengan zonasi, tekanan ini sedikit berkurang, terutama di tingkat SD dan SMP. Anak-anak bisa belajar dengan lebih tenang tanpa harus mengejar nilai demi masuk ke sekolah tertentu yang letaknya jauh dari rumah.
4. Membangun Komunitas yang Lebih Baik
Dengan anak-anak sekolah di lingkungan tempat tinggalnya, interaksi sosial di tingkat lokal menjadi lebih kuat. Mereka bermain, belajar, dan tumbuh bersama teman-teman satu lingkungan. Ini berkontribusi pada pembangunan karakter, solidaritas, dan keterikatan sosial yang lebih tinggi.
Tantangan di Lapangan: Masalah Klasik dan Baru
Meski memiliki niat baik, implementasi sistem zonasi masih jauh dari kata sempurna. Banyak permasalahan muncul di berbagai daerah, terutama karena kesiapan infrastruktur dan SDM yang belum merata.
1. Ketimpangan Kualitas Sekolah
Zonasi akan adil jika semua sekolah menawarkan kualitas yang setara, baik dari segi tenaga pengajar, fasilitas, maupun manajemen. Faktanya, kesenjangan ini masih lebar. Sekolah tertentu memiliki gedung megah, laboratorium lengkap, guru bersertifikasi, sementara sekolah lain bahkan kekurangan ruang kelas dan guru tetap. Ketimpangan ini membuat masyarakat tidak percaya pada prinsip “setara” yang diusung oleh sistem zonasi.
2. Manipulasi Domisili
Salah satu masalah yang kerap mencuat adalah manipulasi alamat demi mendapatkan akses ke sekolah favorit. Ada yang menyewa rumah dekat sekolah, membuat surat domisili palsu, bahkan melakukan “jual beli alamat”. Ini mencederai semangat keadilan dalam sistem zonasi dan memperlihatkan lemahnya pengawasan dari pemerintah.
3. Distribusi Guru Tidak Merata
Guru adalah jantung dari sistem pendidikan. Tanpa distribusi yang merata, mustahil menciptakan kualitas pembelajaran yang setara. Banyak guru berkualitas menumpuk di kota besar atau sekolah unggulan, sementara sekolah di pinggiran kekurangan tenaga pengajar atau bahkan harus mengandalkan guru honorer dengan pendapatan minim.
4. Resistensi Masyarakat
Sebagian masyarakat, terutama dari kalangan menengah atas, menganggap sistem zonasi sebagai bentuk “penyeragaman paksa”. Mereka merasa hak anak-anak mereka untuk memilih sekolah berkualitas dirampas oleh kebijakan ini. Tidak sedikit pula yang memindahkan anak-anak mereka ke sekolah swasta atau bahkan luar negeri.
Refleksi dan Evaluasi: Ke Mana Arah Zonasi?
Zonasi bukanlah sistem yang sempurna. Tapi ia adalah upaya konkret untuk mengubah paradigma pendidikan dari yang elitis menjadi inklusif. Dalam pelaksanaannya, perlu adanya evaluasi dan pembenahan menyeluruh. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan regulasi tanpa memperkuat infrastruktur pendukung.
Beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan antara lain
• Peningkatan Sarana dan Prasarana Sekolah: Pemerataan fasilitas harus menjadi prioritas. Sekolah yang sebelumnya tertinggal harus mendapat dukungan lebih besar, baik dari pemerintah pusat maupun daerah.
• Distribusi Guru Secara Adil: Pemerintah perlu menyiapkan skema insentif untuk mendorong guru-guru berkualitas mau ditempatkan di sekolah-sekolah yang selama ini kurang diminati.
• Transparansi dan Pengawasan Zonasi: Sistem pelaporan masyarakat dan digitalisasi proses zonasi harus diperkuat untuk mencegah kecurangan.
• Kampanye Publik tentang Pendidikan Setara: Pemerintah perlu membangun narasi baru bahwa semua sekolah negeri adalah tempat yang layak dan berkualitas untuk belajar. Ini bisa dilakukan melalui media massa, komunitas guru, dan peran serta tokoh masyarakat.
Penutup: Jalan Panjang Menuju Pemerataan
Zonasi adalah satu langkah dari ribuan langkah yang harus diambil untuk mewujudkan sistem pendidikan yang adil, setara, dan merata. Tidak akan ada hasil instan dari kebijakan sebesar ini. Evaluasi berkala, pelibatan masyarakat, dan keberanian untuk berbenah harus terus dikedepankan.
Jika dilaksanakan dengan konsisten dan disertai komitmen tinggi dari seluruh pemangku kepentingan, sistem zonasi bisa menjadi titik tolak penting dalam revolusi pendidikan Indonesia. Sebab sejatinya, pendidikan bukan tentang siapa yang paling pintar, melainkan siapa yang diberi kesempatan untuk belajar, tumbuh, dan berkembang tanpa batas.
Sumber :
Identitas Penulis
Nama : Winarni
Mahasiswi S2 Manajemen Pendidikan Islam
Universitas Islam Bunga Bangsa Cirebon
Red/Anto Prayoga