Hilangnya Ibu Menyusui Usai Ditahan Polisi: Ketua PPWI dan LBH Digitek Desak Kapolri dan HAM Turun Tangan

Berita23 Dilihat

Jakarta, mitratnipolri.co.id

Kasus hilangnya Rina, seorang ibu menyusui yang sebelumnya ditahan Polres Jakarta Pusat dalam perkara yang seharusnya bersifat perdata, memicu gelombang kemarahan publik. Dua tokoh nasional, Jurika Fratiwi (Direktur LBH Digitek DKI Jakarta) dan Wilson Lalengke (Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia / PPWI, alumni PPRA 48 Lemhannas RI Tahun 2012), kompak mendesak Kapolri untuk segera mengungkap keberadaan Rina dan menindak aparat yang terlibat, Kamis (14/8/2025)

Jurika Fratiwi, yang juga menjabat sebagai Advokasi dan Konsultasi Perlindungan Perempuan dan Anak Kadin Indonesia, mengungkap bahwa sebelum menghilang, Rina sempat mengadu bahwa dirinya dipaksa mencabut surat kuasa dan menandatangani pernyataan tidak menggunakan kuasa hukum.

“Setelah pertemuan terakhir itu, semua komunikasi terputus. Nomor teleponnya dan suaminya tidak aktif. Ini mengkhawatirkan dan bisa mengarah pada dugaan penghilangan paksa,” kata Jurika.

Jurika menegaskan bahwa penahanan Rina sejak awal cacat prosedur, melanggar Pasal 54, 55, dan 56 KUHAP, serta menabrak prinsip perlindungan anak sebagaimana diatur dalam UU No. 35 Tahun 2014. Ia juga mengecam polisi yang membuka isi BAP ke media, yang jelas melanggar UU KIP dan UU ITE.

Menurutnya, kasus wanprestasi sebesar Rp450 juta yang menjerat Rina murni perdata sesuai Pasal 1234 KUH Perdata, bukan pidana.

Senada, Wilson Lalengke menyebut hilangnya Rina sebagai “alarm bahaya” bagi penegakan hukum di Indonesia.

“Ini bukan sekadar kasus salah prosedur, tapi indikasi potensi penghilangan paksa. Kalau dibiarkan, rakyat kecil akan semakin tidak punya tempat berlindung,” ujar Wilson.

Wilson menyoroti lemahnya pengawasan internal Polri dan mempertanyakan keberanian Kapolres Jakarta Pusat untuk mengontrol anggotanya. Ia juga menyindir slogan Polri untuk Rakyat yang menurutnya “hanya pemanis bibir tanpa makna.”

“Kalau Polri malah menginjak rakyat lemah, untuk apa slogan itu dikibarkan? Hukum seharusnya menjadi pelindung, bukan predator,” tegasnya.

Keduanya mendesak Kapolri, Propam, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, dan Kementerian PPPA untuk:

1. Segera mengungkap keberadaan Rina dan memastikan keselamatannya.

2. Menghentikan proses pidana yang bertentangan dengan asas peradilan yang adil.

3. Menindak aparat yang memaksa pencabutan kuasa hukum.

4. Menegakkan hak anak dengan membebaskan atau menangguhkan penahanan ibu menyusui.

Jurika dan Wilson sepakat bahwa kasus ini tidak boleh tenggelam di tengah isu lain. Mereka berkomitmen untuk terus mengawal hingga ada kejelasan dan keadilan.

“Hilangnya Rina adalah peringatan bahwa pelanggaran hak asasi bisa terjadi kapan saja, jika kita diam,” pungkas Jurika.

Kasus Rina, seorang ibu menyusui asal Sumedang, kini menjadi sorotan nasional. Apa yang awalnya terlihat sebagai sengketa utang-piutang biasa, berubah menjadi drama hukum yang sarat kejanggalan, hingga berujung pada dugaan forced disappearance atau penghilangan paksa.

Tim investigasi Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) menelusuri jejak kasus ini, mengungkap kronologi detail, fakta-fakta hukum yang diabaikan, hingga komentar pedas para tokoh yang menuntut keadilan.

Kronologi Kasus Rina

1. Awal Kesepakatan (Maret 2025).
Rina menerima dana Rp450 juta dari pelapor untuk membeli mobil Toyota Hilux.
Dana digunakan untuk menutup kebutuhan bisnis dan membayar hutang, dengan janji pelunasan dari pemasukan usaha berikutnya.

2. Masalah Bisnis dan Itikad Baik (April–Juni 2025).
Pemasukan usaha Rina tidak sesuai target.
Ia mulai mencicil pembayaran dan menawarkan rumahnya sebagai ganti rugi.
Pelapor menolak bentuk pembayaran selain uang tunai.

3. Pertemuan di Jakarta (1 Agustus 2025).
Pelapor memanggil Rina dari Batam ke Jakarta dengan alasan menyelesaikan masalah secara kekeluargaan.
Sesampainya di Jakarta, Rina langsung ditangkap di Polres Jakarta Pusat.

4. Pelanggaran Prosedur Penahanan.
Tidak ada pemberitahuan resmi kepada keluarga (melanggar Pasal 55 KUHAP).
Rina tidak didampingi penasihat hukum sejak awal (melanggar Pasal 54 KUHAP).
Tidak ada penunjukan penasihat hukum oleh penyidik meski ancaman hukuman ≥5 tahun (melanggar Pasal 56 KUHAP).

5. Penahanan Ibu Menyusui.
Rina ditahan bersama bayinya yang berusia 9 bulan di ruang tahanan tidak layak.
Melanggar Pasal 2 & 4 UU No. 35 Tahun 2014 (Perlindungan Anak) dan Pasal 11 UU HAM.

6. Tekanan untuk Mencabut Kuasa Hukum (7 Agustus 2025).
Rina menghubungi kuasa hukumnya, Jurika Fratiwi (Direktur LBH Digitek DKI Jakarta), mengaku dipaksa mencabut surat kuasa dan menandatangani pernyataan tidak menggunakan pengacara.

7. Hilang Kontak (8 Agustus 2025).
Setelah pertemuan itu, nomor telepon Rina dan suaminya tidak aktif.
Lokasi penahanannya tidak jelas, kasus tiba-tiba senyap di media.

Fakta Pelanggaran Hukum yang Teridentifikasi :

1. Kriminalisasi Perdata — Sengketa wanprestasi diproses sebagai pidana, melanggar Pasal 1234 KUH Perdata.

2. Pelanggaran Hak Tersangka — Tidak didampingi penasihat hukum sejak awal (Pasal 54–56 KUHAP).

3. Pelanggaran Privasi — Pembukaan isi BAP ke media, melanggar UU KIP & UU ITE.

4. Pelanggaran Hak Anak — Penahanan bayi di lingkungan tahanan, melanggar UU Perlindungan Anak & UU HAM.

5. Dugaan Penghilangan Paksa — Hilangnya Rina tanpa jejak setelah terakhir terlihat dalam tahanan.

Jurika Fratiwi — Direktur LBH Digitek DKI Jakarta, “Hilangnya Rina adalah indikasi serius adanya pelanggaran HAM. Polisi harus segera mengungkap keberadaannya, menghentikan proses pidana yang salah kaprah, dan menindak oknum yang memaksa pencabutan kuasa hukum.”

Wilson Lalengke — Ketua Umum PPWI, Alumni Lemhannas 2012, “Ini alarm bahaya bagi penegakan hukum. Jika negara membiarkan ibu menyusui hilang setelah ditahan, maka rakyat kecil semakin tak punya perlindungan.”

Desakan Tuntutan dan Langkah Darurat agar:

–  Kapolri & Divisi Propam: Mengusut aparat yang menangani kasus ini.

–  Komnas HAM & Komnas Perempuan: Melakukan investigasi independen atas dugaan penghilangan paksa.

–  KPAI & Kementerian PPPA: Menegakkan hak anak untuk mendapatkan ASI dan lingkungan aman.

–  Ombudsman RI: Menilai pelanggaran prosedur dan maladministrasi.

Bukti-bukti yang dihimpun menunjukkan adanya pola penyalahgunaan kewenangan mulai dari kriminalisasi perdata, pelanggaran prosedur penahanan, hingga dugaan penghilangan paksa. Kasus ini menjadi ujian serius bagi integritas kepolisian dan sistem penegakan hukum di Indonesia.

Kasus dugaan kriminalisasi terhadap seorang perempuan bernama Ibu Rina, yang terseret dari persoalan perdata menjadi perkara pidana oleh oknum anggota Polres Metro Jakarta Pusat, menuai sorotan tajam dari sejumlah perwira tinggi dan purnawirawan Polri.

Berdasarkan hasil tangkapan layar komunikasi WhatsApp yang beredar, Kamis (14/8/2025) pagi, mantan Wakapolri Komjen (Purn) Drs. Oegroseno, SH secara tegas menyebut bahwa perkara ini adalah murni kriminalisasi. “Viralkan terus ke media sosial pak. Ini murni kriminalisasi,” tulis Oegroseno dalam pesannya kepada aktivis anti-korupsi Idris Hady, pukul 07.11 WIB.

Menanggapi pesan tersebut, Idris Hady membalas singkat, “Assiyap.”

Sementara itu, Kombes Pol Dedy Tabrani juga memberikan saran agar kasus ini segera diadukan ke jalur pengawasan internal dan eksternal Polri. “Dilaporkan saja Bang Idris, kan sudah ada Propam dan Kompolnas,” tulis Dedy Tabrani pada pukul 06.39 WIB. Idris pun merespons, “Assiyap prof. Saya akan sampaikan ke Pak Wilson Lalengke,” sambil menegaskan bahwa pesan dari Oegroseno dan Dedy Tabrani akan diteruskan kepada Ketua Umum PPWI tersebut.

Sumber informasi ini menyebut, komentar dari para petinggi Polri tersebut menjadi indikasi bahwa dugaan kriminalisasi Ibu Rina telah mendapat perhatian serius, bahkan dari kalangan internal kepolisian sendiri.

Kasus ini mencuat setelah Ibu Rina dilaporkan dalam perkara pidana oleh pihak tertentu, padahal persoalan yang dihadapi awalnya bersifat perdata. Langkah tersebut memicu kritik keras dari kalangan aktivis, jurnalis warga, hingga pegiat hukum yang menilai aparat kepolisian tidak seharusnya “menggunakan hukum seenak perutnya” hanya karena memiliki kewenangan.

PPWI akan terus mengawal perkembangan kasus ini dan menyajikan laporan lanjutan jika ada temuan baru di lapangan. (SAD/Red).

Jurnalis : Hidayat

Red/Anto Prayoga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *