Upah Layak, Bukan Sekadar Upah Minimum

Artikel36 Dilihat

Oleh: Suhardi
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Pertiba Pangkalpinang

Bangka Belitung | mitratnipolri.co.id Setiap akhir tahun, selalu muncul perdebatan klasik: berapa persen kenaikan upah minimum yang pantas bagi pekerja? Di satu sisi, buruh menuntut kenaikan yang dianggap wajar untuk mengikuti biaya hidup yang terus naik. Di sisi lain, pengusaha mengeluh beban biaya produksi yang meningkat. Pemerintah pun berada di tengah, berusaha menenangkan keduanya dengan rumus kompromi.

Namun persoalan sebenarnya bukan sekadar berapa persen upah naik, melainkan apakah upah yang diterima pekerja benar-benar cukup untuk hidup layak?

Paradoks Upah Minimum
Sistem upah minimum di Indonesia lahir untuk melindungi pekerja agar tidak dieksploitasi. Tetapi dalam praktiknya, upah minimum sering kali menjadi upah maksimum—karena banyak perusahaan menjadikannya standar tetap, bukan batas bawah. Akibatnya, pekerja hanya bisa hidup pas-pasan, tanpa ruang untuk menabung, berinvestasi, atau sekadar menyiapkan dana darurat.

Secara ekonomi, hal ini menimbulkan working poverty, yaitu kondisi di mana seseorang bekerja penuh waktu namun tetap miskin. Fenomena ini menggambarkan bahwa kenaikan upah nominal belum tentu meningkatkan kesejahteraan riil jika tidak sejalan dengan kenaikan biaya hidup (inflasi) dan kebutuhan sosial yang semakin kompleks.

Lebih ironis lagi, rumus penghitungan upah minimum di Indonesia selama ini terlalu bertumpu pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional, tanpa memperhitungkan perbedaan biaya hidup antarwilayah. Padahal, biaya hidup di Jakarta tentu jauh berbeda dengan di Pangkalpinang, Kendari, atau Jayapura. Akibatnya, ketimpangan kesejahteraan pekerja antar daerah semakin lebar.

Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebuah Konsep yang Terlupakan
Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki konsep Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai dasar penentuan upah. Namun dalam praktik, konsep ini sering diabaikan atau disimplifikasi dalam rumus matematis.

KHL seharusnya mengacu pada kebutuhan dasar manusia modern seperti pangan, sandang, papan, transportasi, kesehatan, pendidikan, hingga rekreasi minimal. Namun komponen ini kerap ditentukan tanpa survei yang komprehensif atau tidak diperbarui sesuai perubahan pola hidup masyarakat. Di sinilah muncul gagasan reformasi sistem pengupahan berbasis “living wage”, bukan sekadar minimum wage.

Dari Minimum Wage ke Living Wage
Secara ekonomi, living wage atau upah hidup layak adalah standar upah yang cukup untuk menutupi biaya hidup manusiawi bagi pekerja dan keluarganya. Artinya, upah tidak hanya untuk “bertahan hidup”, tapi juga untuk menjalani kehidupan yang bermartabat. Dalam konsep living wage, pekerja harus mampu: Memenuhi kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan). Mengakses pendidikan dan layanan kesehatan. Menyisihkan sebagian pendapatan untuk tabungan atau darurat, dan Menjalani kehidupan sosial tanpa tekanan ekonomi ekstrem.

Teori ekonomi kesejahteraan menekankan bahwa pekerja bukan hanya faktor produksi, tetapi juga manusia dengan kebutuhan sosial dan psikologis. Oleh karena itu, pengupahan tidak boleh dipandang semata dari sisi efisiensi ekonomi, tetapi juga keadilan sosial.

Mengapa Reformasi Sistem Upah Mendesak?
Pertama, karena ketimpangan pendapatan di Indonesia masih tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, koefisien Gini rasio berada di kisaran 0,38–0,40 dalam beberapa tahun terakhir—artinya ketimpangan distribusi pendapatan cukup lebar. Salah satu penyebabnya adalah struktur upah yang tidak mencerminkan produktivitas riil.

Kedua, sistem upah yang kaku membuat ekonomi Indonesia sulit naik kelas. Negara dengan sistem pengupahan layak seperti Korea Selatan dan Jepang terbukti mampu meningkatkan daya beli masyarakat, yang pada gilirannya memperkuat pasar domestik. Living wage bukan ancaman bagi bisnis, justru menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dari bawah.

Ketiga, di era digital, banyak pekerjaan baru muncul di sektor informal dan gig economy. Mereka bekerja tanpa kontrak tetap dan tanpa standar upah yang jelas. Inilah alasan mengapa kebijakan pengupahan modern harus melampaui batas formal-informal, agar setiap orang yang bekerja mendapatkan perlindungan yang setara.

Membangun Sistem Upah yang Adil dan Adaptif
Untuk mencapai living wage, reformasi sistem pengupahan perlu dilakukan secara bertahap dan terukur, dengan empat langkah strategis yaitu Menetapkan Standar Kebutuhan Hidup Layak Regional. Setiap provinsi harus menghitung ulang KHL berdasarkan data harga riil dan kebutuhan aktual masyarakat. KHL ini menjadi dasar penentuan upah, bukan sekadar hasil negosiasi politik tahunan.

Mengaitkan Upah dengan Produktivitas dan Nilai Tambah. Upah layak harus sejalan dengan peningkatan produktivitas. Pemerintah dan dunia usaha harus menyediakan pelatihan dan teknologi yang memungkinkan pekerja naik kelas — dari buruh ke tenaga terampil, dari operator ke inovator.

Memberikan Insentif bagi Perusahaan yang Menerapkan Upah Layak. Pemerintah dapat memberikan keringanan pajak, akses pembiayaan, atau penghargaan bagi perusahaan yang secara konsisten membayar di atas living wage. Ini mendorong kompetisi sehat dalam kesejahteraan tenaga kerja.

Membangun Dialog Sosial yang Seimbang
Penetapan upah seharusnya menjadi hasil dialog tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja, dengan basis data ekonomi yang transparan. Keterbukaan informasi menjadi kunci untuk menghindari konflik dan ketidakpercayaan.

Upah Layak Bukan Beban, Tapi Investasi
Banyak pengusaha beranggapan bahwa kenaikan upah adalah ancaman terhadap efisiensi biaya. Padahal, dalam jangka panjang, upah layak justru meningkatkan produktivitas, loyalitas, dan stabilitas sosial.

Teori ekonomi Keynes menyebutkan bahwa daya beli masyarakat adalah mesin utama pertumbuhan ekonomi. Jika pekerja memiliki pendapatan yang cukup, konsumsi meningkat, permintaan naik, dan sektor produksi pun berkembang. Dengan kata lain, upah layak adalah bahan bakar ekonomi domestik.

Negara-negara maju memahami hal ini. Di Jerman, konsep living wage diterapkan bukan sekadar untuk melindungi buruh, tapi untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional. Di Indonesia, sudah saatnya paradigma serupa diadopsi bahwa kesejahteraan pekerja adalah pondasi ekonomi yang berkelanjutan.

Dari Nominal ke Nilai Kemanusiaan
Kita perlu berhenti melihat upah hanya sebagai angka di slip gaji. Upah adalah pengakuan terhadap kontribusi manusia dalam roda ekonomi. Jika seseorang bekerja penuh waktu namun tetap miskin, itu bukan semata kesalahan individu, melainkan tanda bahwa sistem kita sedang timpang. Reformasi sistem pengupahan berbasis living wage bukanlah kemewahan, melainkan keharusan moral dan ekonomi. Karena sejatinya, kemajuan sebuah bangsa tidak diukur dari seberapa kaya para pemilik modal, melainkan seberapa layak hidup para pekerjanya.

Tentang Penulis:
Suhardi adalah dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Pertiba Pangkalpinang, pemerhati isu ketenagakerjaan dan ekonomi inklusif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *